Seekor anak monyet
bersiap-siap hendak melakukan perjalanan jauh. Ia merasa sudah bosan
dengan hutan tempat hidupnya sekarang. Ia mendengar bahwa di bagian lain
dunia ini ada tempat yang disebut “hutan” di mana ia berpikir akan
mendapatkan tempat yang lebih “baik”. “Aku akan mencari kehidupan yang
lebih baik!” katanya. Orangtua si Monyet, meskipun bersedih, melepaskan
kepergiannya. “Biarlah ia belajar untuk kehidupannya sendiri,” kata sang
Ayah kepada sang Ibu dengan bijak.
Maka pergilah si Anak Monyet itu mencari “hutan” yang ia gambarkan sebagai tempat hidup kau Monyet yang lebih baik. Sementara kedua orangtuanya tetap tinggal di hutan itu. Waktu terus berlalu, sampai suatu ketika, si Anak Monyet itu secara mengejutkan kembali ke orangtuanya. Tentu kedatangan anak semata wayang itu disambut gembira orangtuanya.
Sambil berpelukan, si Anak Monyet berkata, “Ayah, Ibu, aku tidak menemukan hutan seperti yang aku angan-angankan. Semua binatang yang aku temui selalu keheranan setiap aku menceritakan bahwa aku akan bergi ke sebuah tempat yang lebih baik bagi semua binatang yang bernama hutan.” “Malah, mereka mentertawakanku.” sambungnya sedih. Sang Ayah dan Ibu hanya tersenyum mendengarkan si Anak Monyet itu. “Sampai aku bertemu dengan Gajah yang bijaksana,” lanjutnya, “Ia mengatakan bahwa sebenarnya apa yang aku cari dan sebut sebagai hutan itu adalah hutan yang kita tinggali ini!. Kamu sudah mendapatkan dan tinggal di m hutan itu!” Benar, anakku. Kadang-kadang kita memang berpikir tentang hal-hal yang
jauh, padahal apa yang dimaksud itu sebenarnya sudah ada di depan mata.”
Maka pergilah si Anak Monyet itu mencari “hutan” yang ia gambarkan sebagai tempat hidup kau Monyet yang lebih baik. Sementara kedua orangtuanya tetap tinggal di hutan itu. Waktu terus berlalu, sampai suatu ketika, si Anak Monyet itu secara mengejutkan kembali ke orangtuanya. Tentu kedatangan anak semata wayang itu disambut gembira orangtuanya.
Sambil berpelukan, si Anak Monyet berkata, “Ayah, Ibu, aku tidak menemukan hutan seperti yang aku angan-angankan. Semua binatang yang aku temui selalu keheranan setiap aku menceritakan bahwa aku akan bergi ke sebuah tempat yang lebih baik bagi semua binatang yang bernama hutan.” “Malah, mereka mentertawakanku.” sambungnya sedih. Sang Ayah dan Ibu hanya tersenyum mendengarkan si Anak Monyet itu. “Sampai aku bertemu dengan Gajah yang bijaksana,” lanjutnya, “Ia mengatakan bahwa sebenarnya apa yang aku cari dan sebut sebagai hutan itu adalah hutan yang kita tinggali ini!. Kamu sudah mendapatkan dan tinggal di m hutan itu!” Benar, anakku. Kadang-kadang kita memang berpikir tentang hal-hal yang
jauh, padahal apa yang dimaksud itu sebenarnya sudah ada di depan mata.”
Kita semua adalah si Anak Monyet itu. Hal-hal sederhana, hal-hal ada
di sekitar kita tidak kita perhatikan. Justru kita melihat hal yang
“jauh-jauh” yang pada dasarnya sudah di depan mata. Kita gelisah dengan
karir pekerjaan, kita gelisah dengan sekolah anak-anak, kita gelisah
dengan segala
rencana kehidupan kita. Padahal, yang pekerjaan kita sekarang adalah bagian dari karir kita. Padahal, anak-anak kita bersekolah sekarang adalah bagian dari proses pendidikan mereka dan hidup yang kita jalani adalah bagian dari rangkaian kehidupan kita ke masa yang akan datang.
rencana kehidupan kita. Padahal, yang pekerjaan kita sekarang adalah bagian dari karir kita. Padahal, anak-anak kita bersekolah sekarang adalah bagian dari proses pendidikan mereka dan hidup yang kita jalani adalah bagian dari rangkaian kehidupan kita ke masa yang akan datang.
Tanpa mengecilkan arti masa depan dan sesuatu yang lebih baik, ada
baiknya apabila kita fokus dengan apa yang ada di depan mata, apa yang
kita kerjakan sekarang, karena hal ini akan berpengaruh terhadap masa
depan Anda. Dia memandangku dan berkata, “Kamu belajar dengan cepat,
tapi jawabanmu masih salah karena banyak orang yang buta.”
Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari jawaban baru dan dari
tahun ke tahun, Ibu terus bertanya padaku beberapa kali dan jawaban dia
selalu, “Bukan. Tapi, kamu makin pandai dari tahun ke tahun, anakku.”
Akhirnya tahun lalu, kakekku meninggal. Semua keluarga sedih. Semua
menangis. Bahkan, ayahku menangis. Aku sangat ingat itu karena itulah
saat kedua kalinya aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika
tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kakek.
Dia bertanya padaku, “Apakah kamu sudah tahu apa bagian tubuh yang paling penting, sayang?”
Aku terkejut ketika Ibu bertanya pada saat seperti ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara Ibu dan aku.
Ibu melihat kebingungan di wajahku dan memberitahuku, “Pertanyaan ini
penting. Ini akan menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar-
benar”hidup”. Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu padaku dulu,
aku selalu berkata kamu salah dan aku telah memberitahukan kamu kenapa.
Tapi, hari ini adalah hari di mana kamu harus belajar pelajaran yang
sangat penting.”
Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku melihat matanya penuh
dengan air mata. Dia berkata, “Sayangku, bagian tubuh yang paling
penting adalah bahumu.” Aku bertanya, “Apakah karena fungsinya untuk
menahan kepala?” Ibu membalas, “Bukan, tapi karena bahu dapat menahan kepala seorang teman
atau orang yang kamu sayangin ketika mereka menangis. Kadang-kadang
dalam hidup ini, semua orang perlu bahu untuk menangis. Aku cuma
berharap, kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu selalu
punya bahu untuk menangis kapan pun kamu membutuhkannya.”
Akhirnya, aku tahu, bagian tubuh yang paling penting adalah tidak
menjadi orang yang mementingkan diri sendiri. Tapi, simpati terhadap
penderitaan yang dialamin oleh orang lain. Orang akan melupakan apa yang
kamu katakan… Orang akan melupakan apa yang kamu lakukan… Tapi, orang
TIDAK akan pernah lupa bagaimana kamu membuat mereka berarti.
“Masa depan Anda, karir Anda, serta kehidupan Anda adalah yang Anda kerjakan hari ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar